KONSERVASI BURUNG ELANG JAWA
OLEH:
HUNI HINDRATI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dampak kegiatan yang dilakukan oleh manusia saat ini seperti pemanfaatan
sumber daya alam berlebih, pencemaran, pemanasan global serta pertumbuhan
penduduk yang makin pesat menyebabkan mempercepat hilangnya spesies dan
ekosistem. Untuk mempertahankan kelesarian spesies tersebut, perlu dilakukan strategi
dan juga pelaksananya. Strategi tersebut dimaksudkan untuk tetap menjaga
kelestarian makhluk hidup dan ekosistem, upaya tersebut dimaksud konservasi.
Konservasi
adalah perlindungan dan pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin keberlanjutan ketersediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Kawasan
observasi salah satunya adalah habitat penting/ruang hidup bagi satu atau
beberapa spesies (flora dan fauna) khusus: endemik (hanya terdapat di suatu
tempat di seluruh muka bumi), langka, atau terancam punah (seperti harimau,
orangutan, badak, gajah, beberapa jenis burung seperti elang garuda/elang jawa,
serta beberapa jenis tumbuhan seperti ramin). Jenis-jenis ini biasanya
dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
Populasi
burung Elang Jawa di alam bebas diperkirakan tinggal 600 ekor. Badan Konservasi
Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengategorikannya terancam punah. Konvensi
Perdagangan Internasional untuk Flora dan Fauna yang Terancam Punah
memasukkannya dalam Apendiks 1 yang berarti mengatur perdagangannya ekstra
ketat. Berdasarkan kriteria keterancaman terbaru dari IUCN, Elang Jawa dimasukan
dalam kategori Endangered atau “Genting” (Collar et al., 1994, Shannaz et al.,
1995). Habitat burung Elang Jawa hanya terbatas di Pulau Jawa, terutama di
wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada
peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Melalui Keputusan Presiden Nomor 4
Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, Pemerintah RI mengukuhkan Elang
Jawa sebagai wakil satwa langka dirgantara.
Mempertimbangkan kecilnya populasi, wilayah agihannya yang terbatas dan
tekanan tinggi yang dihadapi itu, organisasi konservasi dunia IUCN memasukkan Elang Jawa
ke dalam status EN (Endangered, terancam kepunahan). Demikian pula,
Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai hewan yang dilindungi oleh
undang-undang. Dengan langkanya burung Elang Jawa ini, penulis ingin mengkaji
konservasi Elang Jawa sebagai upaya perlindungan serta pelestarian habitatnya
yang semakin langka.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Apakah
yang melatarbelakangi adanya konservasi burung Elang Jawa?
2. Bagaimanakah
upaya konservasi burung Elang Jawa?
3. Upaya
apakah yang harus kita lakukan untuk tetap menjaga kelestarian habitat burung
Elang Jawa?
C.
TUJUAN
Tujuan
makalah ini adalah:
1. Mengetahui
latar belakang adanya konservasi burung Elang Jawa
2. Mengetahui
upaya konservasi burung Elang Jawa
3. Mengetahui
upaya yang harus kita lakukan untuk tetap menjaga kelestarian habitat burung
Elang Jawa
BAB II
DASAR TEORI
A.
SEJARAH KONSERVASI
Ide mengenai konservasi dikemukakan pertama kali oleh Theodore Roosevelt
(1902), orang pertama yang mengemukakan tentang konsep perlindungan
(konservasi). Bentuk kegiatan tersebut meliputi magamenen udara, air. Pada
awalnya, upaya konservasi di dunia ini telah dimulai sejak ribuan tahun yang
lalu. Naluri manusia untuk mempertahankan hidup dan berinteraksi dengan alam
dilakukan antara lain dengan cara berburu, yang merupakan suatu kegiatan baik
sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup, ataupun sebagai suatu
hobi/hiburan.
Di Asia
Timur, konservasi sumberdaya alam hayati (KSDAH) dimulai saat Raja Asoka (252
SM) memerintah, dimana pada saat itu diumumkan bahwa perlu dilakukan
perlindungan terhadap binatang liar, ikan dan hutan. Sedangkan di Inggris, Raja
William I (1804 M) pada saat itu telah memerintahkan para pembantunya untuk
mempersiapkan sebuah buku berjudul Doomsday Book yang berisi inventarisasi dari
sumberdaya alam milik kerajaan.
Kebijakan
kedua raja tersebut dapat disimpulkan sebagai suatu bentuk konservasi
sumberdaya alam hayati pada masa tersebut dimana Raja Asoka melakukan
konservasi untuk kegiatan pengawetan, sedangkan Raja William I melakukan
pengelolaan sumberdaya alam hayati atas dasar adanya data yang akurat. Namun
dari sejarah tersebut, dapat dilihat bahwa bahkan sejak jaman dahulu, konsep
konservasi telah ada dan diperkenalkan kepada manusia meskipun konsep
konservasi tersebut masih bersifat konservatif dan eksklusif (kerajaan). Konsep
tersebut adalah konsep kuno konservasi yang merupakan cikal bakal dari konsep
modern konservasi dimana konsep modern konservasi menekankan pada upaya
memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana.
B.
PENGERTIAN KONSERVASI
Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah,
konservasi berasal dari bahasa Inggris, (Inggris) Conservation
yang artinya pelestarian atau perlindungan.
Sedangkan menurut ilmu lingkungan,
Konservasi adalah :
- Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang sama tingkatannya.
- Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya alam
- (fisik) Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kiamia atau transformasi fisik.
- Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan
- Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan lingkungan alaminya.
Konservasi
adalah perlindungan dan pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin keberlanjutan ketersediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. (Kamus
Besar Bahasa Indonesia)
Di
Indonesia, berdasarkan peraturan perundang-undangan, Konservasi [sumber daya
alam hayati] adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Cagar
alam dan suaka margasatwa merupakan Kawasan Suaka Alam (KSA), sementara taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam merupakan Kawasan Pelestarian
Alam (KPA).
Cagar alam
karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tunbuhan, satwa, atau ekosistem
tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Suaka margasatwa mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan
jenis satwanya.
Taman
nasional mempunyai ekosistem asli yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Taman hutan raya untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan bagi
kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
budaya, pariwisata dan rekreasi. Taman wisata alam dimanfaatkan untuk
pariwisata dan rekreasi alam.
C.
KONFLIK KONSERVASI
Di ekosistem
hutan, biasanya konflik konservasi muncul antara satwa endemik dan pengusaha
HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Karena habitatnya menciut dan kesulitan mencari
sumber makanan, akhirnya satwa tersebut keluar dari habitatnya dan menyerang
manusia. Konflik konservasi muncul karena:
- Penciutan lahan & kekurangan SDA (Sumber Daya Alam)
- Pertumbuhan jumlah penduduk meningkat dan permintaan pada SDA meningkat (sebagai contoh, penduduk Amerika butuh 11 Ha lahan per orang, jika secara alami)
- SDA diekstrak berlebihan (over exploitation) menggeser keseimbangan alami.
- Masuknya/introduksi jenis luar yang invasif, baik flora maupun fauna, sehingga mengganggu atau merusak keseimbangan alami yang ada.
Kemudian, konflik semakin parah
jika :
- SDA berhadapan dengan batas batas politik (mis: daerah resapan dikonversi utk HTI, HPH (kepentingan politik ekonomi)
- Pemerintah dengan kebijakan tata ruang (program jangka panjang) yang tidak berpihak pada prinsip pelestarian SDA dan lingkungan.
- Perambahan dengan latar kepentingan politik untuk mendapatkan dukungan suara dari kelompok tertentu dan juga sebagai sumber keuangan ilegal.
Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, perlu dilakukan strategi dan juga pelaksananya. Di
Indonesia, kegiatan konservasi seharusnya dilaksanakan secara bersama oleh
pemerintah dan masyarakat, mencakup masayarakat umum, swasta, lembaga swadaya
masayarakat, perguruan tinggi, serta pihak-pihak lainnya. Sedangkan strategi
konservasi nasional telah dirumuskan ke dalam tiga hal berikut taktik
pelaksanaannya, yaitu :
1.
Perlindungan sistem penyangga kehidupan (PSPK)
a.
Penetapan wilayah PSPK.
b.
Penetapan pola dasar pembinaan program PSPK.
c.
Pengaturan cara pemanfaatan wilayah PSPK.
d.
Penertiban penggunaan dan pengelolaan tanah dalam
wilayah PSPK.
e.
Penertiban maksimal pengusahaan di perairan dalam
wilayah PSPK.
2.
Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya
a.
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya
b.
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa (in-situ dan
eks-situ konservasi).
3.
Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya.
a.
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian
alam.
b.
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (dalam
bentuk : pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perdagangan,
perburuan, peragaan, pertukaran, budidaya).
D. KAWASAN
PELESTARIAN ALAM
Kawasan
pelestarian alam ataupun kawasan dilindungi ditetapkan oleh pemerintah
berdasarkan berbagai macam kriteria sesuai dengan kepentingannya. Hampir di
setiap negara mempunyai kriteria/kategori sendiri untuk penetapan kawasan
dilindungi, dimana masing-masing negara mempunyai tujuan yang berbeda dan
perlakuan yang mungkin berbeda pula.
Namun di
level internasional seperti misalnya Commission on National Park and Protected
Areas (CNPPA) yaitu komisi untuk taman nasional dan kawasan dilindungi yang
berada di bawah IUCN memiliki tanggung jawab khusus dalam pengelolaan kawasan
yang dilindungi secara umum di dunia, baik untuk kawasan daratan maupun
perairan.
Sedikitnya,
sebanyak 124 negara di dunia telah menetapkan setidaknya satu kawasan
koservasinya sebagai taman nasional (bentuk kawasan dilindungi yang populer dan
dikenal luas). Walaupun tentu saja di antara masing-masing negara, tingkat
perlindungan yang legal dan tujuan pengelolaannya beragam, demikian juga dasar
penetapannya.
Kawasan konservasi mempunyai karakteristik sebagaimana berikut:
- Karakteristik, keaslian atau keunikan ekosistem (hutan hujan tropis/'tropical rain forest' yang meliputi pegunungan, dataran rendah, rawa gambut, pantai)
- Habitat penting/ruang hidup bagi satu atau beberapa spesies (flora dan fauna) khusus: endemik (hanya terdapat di suatu tempat di seluruh muka bumi), langka, atau terancam punah (seperti harimau, orangutan, badak, gajah, beberapa jenis burung seperti elang garuda/elang jawa, serta beberapa jenis tumbuhan seperti ramin). Jenis-jenis ini biasanya dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
- Tempat yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah alami.
- Lansekap (bentang alam) atau ciri geofisik yang bernilai estetik/scientik.
- Fungsi perlindungan hidro-orologi: tanah, air, dan iklim global.
- Pengusahaan wisata alam yang alami (danau, pantai, keberadaan satwa liar yang menarik).
E.
KEBIJAKAN
Di
Indonesia, kebijakan konservasi diatur ketentuannya dalam UU 5/90 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU ini memiliki beberpa
turunan Peraturan Pemerintah (PP), diantaranya:
- PP 68/1998 terkait pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
- PP 7/1999 terkait pengawetan/perlindungan tumbuhan dan satwa
- PP 8/1999 terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar/TSL
- PP 36/2010 terkait pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa (SM), taman nasional (TN), taman hutan raya (Tahura) dan taman wisata alam (TWA).
F. BIOLOGI
KONSERVASI
Adalah ilmu yang berorientasi pada
tujuan yang mencari penyelesaian untuk menghadapi krisis keanekaragaman
biologis (bioversity crisis), penurunan yang sangat cepat dalam keanekaragaman
kehidupan bumi saat ini. Dasar dari biologi konservasi adalah adanya kepunahan
dan kelangkaan hayati -> SDA hayati / keanekaragaman hayati / biodiversity.
Kepunahan terjadi akibat dri background extintion dan percepatan atau
peningkatan laju kepunahan.
G. MANFAAT
KONSERVASI
1. Terjadinya
kondisi alam dan lingkungan
2. Terhindarnya
dari bencana akibat perubahan alam
3. Terhindarnya
makhluk hidup dari kepunahan
4. Dapat
terwujudnya keseimbangan lingkungan baik mikro maupun makro / ekosistem
5. Pemberian
kontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan
BAB III
PEMBAHASAN
I.
LATAR BELAKANG ADANYA KONSERVASI BURUNG
ELANG JAWA
Sebelum
mengetahui latar belakang adanya konservasi burung Elang Jawa. Perlu adanya
pengetahuan tentang burung Elang Jawa ini.
a. Mengenal
burung Elang Jawa
Elang Jawa Spizaetus bartelsi
Stresemann, 1924.
Nama
Lain : Garuda dan Rajawali
Karakteristik
Dewasa; Kepala coklat kadru, bagian tengkuk coklat kekuning-kuningan dan selalu terlihat lebih terang dari warna bulu badannya yang lebih tua warnanya. Mahkota coklat kehitaman . disekitar mata berwarna coklat tua kelihatan gelap, lingkaran mata(iris) kuning terang. Paruhnya abu tua sampai hitam. Dahinya abu-abu, Jambul terdiri dari 2-4 bulu panjang 12-14 cm. Jambul di kepalanya jarang ter;ihat ketika posisi dalam keadaan terbang. Bagian leher putih pucat dibatasi kumis dan setrip kumis mesial berwarna hitam. Punggung dan sayap bagian atas coklat gelap dengan garis tepi bulu berwarna bungalan. Ujung sayap primer berwarna hitam, bagian sisi atas ekor coklat tua denga 4 garis lebar coklat. Kaki tertutup bulu hingga tungkai(tarsus) sama seperti genus Spizaetus lainya. Jari kuning denga kuku cakar hitam.
Dewasa; Kepala coklat kadru, bagian tengkuk coklat kekuning-kuningan dan selalu terlihat lebih terang dari warna bulu badannya yang lebih tua warnanya. Mahkota coklat kehitaman . disekitar mata berwarna coklat tua kelihatan gelap, lingkaran mata(iris) kuning terang. Paruhnya abu tua sampai hitam. Dahinya abu-abu, Jambul terdiri dari 2-4 bulu panjang 12-14 cm. Jambul di kepalanya jarang ter;ihat ketika posisi dalam keadaan terbang. Bagian leher putih pucat dibatasi kumis dan setrip kumis mesial berwarna hitam. Punggung dan sayap bagian atas coklat gelap dengan garis tepi bulu berwarna bungalan. Ujung sayap primer berwarna hitam, bagian sisi atas ekor coklat tua denga 4 garis lebar coklat. Kaki tertutup bulu hingga tungkai(tarsus) sama seperti genus Spizaetus lainya. Jari kuning denga kuku cakar hitam.
Klasifikasi
lmiah
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Subphyllum : Vertebrata
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Subphyllum : Vertebrata
Class : Aves
Ordo : Falconiformes
Familly : Accipitridae
Genus : Spizaetus
Species : Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924
Ordo : Falconiformes
Familly : Accipitridae
Genus : Spizaetus
Species : Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924
Penyebaran
Di dunia : -
Di Indonesia : Endemik di Pulau Jawa
Distirbusi : Tersebar hampir diseluruh hutan pegunungan di Pulau Jawa. Jawa Barat, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Gunung Sawal, Gunung Simpang, Gunung Tangkuban Perahu, Panaruban, Cagar Alam Takokak Cianjur, dan Gunung Ceremai. Jawa Tengah di Gunung Slamet, Baturaden, Dieng, Gunung Merapi. Jawa Timur data masih minim informasi.
Di dunia : -
Di Indonesia : Endemik di Pulau Jawa
Distirbusi : Tersebar hampir diseluruh hutan pegunungan di Pulau Jawa. Jawa Barat, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Gunung Sawal, Gunung Simpang, Gunung Tangkuban Perahu, Panaruban, Cagar Alam Takokak Cianjur, dan Gunung Ceremai. Jawa Tengah di Gunung Slamet, Baturaden, Dieng, Gunung Merapi. Jawa Timur data masih minim informasi.
Suara
Suara terdengar sekali atau terulang-ulang dalam dua ulangan ”ii-ii” atau suara siulan ”iiw-iii:”. Kadang-kadang suara ini terdiri dari tiga ulangan ”ii-ii-iiiw” yang terulang dua kali.
Suara terdengar sekali atau terulang-ulang dalam dua ulangan ”ii-ii” atau suara siulan ”iiw-iii:”. Kadang-kadang suara ini terdiri dari tiga ulangan ”ii-ii-iiiw” yang terulang dua kali.
Habitat
Mendiami daerah hutan hujan tropis, dari daerah pantai hingga sampai ketinggian 3.000 m dpl. Sangat bergantung pada hutan primer. Tercatat juga menggunakan daerah hutan sekunder dan perkebunan yang berdekatan dengan hutan primer.
Mendiami daerah hutan hujan tropis, dari daerah pantai hingga sampai ketinggian 3.000 m dpl. Sangat bergantung pada hutan primer. Tercatat juga menggunakan daerah hutan sekunder dan perkebunan yang berdekatan dengan hutan primer.
Berbiak
Musim berbiak elang jawa hampir sepanjang tahun. Seringkali terjadi pada bulan Pebruari hingga Mei. Sarang berukuran besar yang terdiri dari ranting-ranting kasar yang berdaun. Pohon yang biasa digunakan untuk meletakan sarang adalah Pohon Rasamala, Pasang, Puspa dan Teureup.
Jumlah telur yang dihasilkan adalah 1 butir.
Musim berbiak elang jawa hampir sepanjang tahun. Seringkali terjadi pada bulan Pebruari hingga Mei. Sarang berukuran besar yang terdiri dari ranting-ranting kasar yang berdaun. Pohon yang biasa digunakan untuk meletakan sarang adalah Pohon Rasamala, Pasang, Puspa dan Teureup.
Jumlah telur yang dihasilkan adalah 1 butir.
Makanan
Mangsa utamanya adalah mamaila kecil dan binatang pengerat. Memakan tupai dan Bajing, Kelelawar buah, bunglon, luwak, anak monyet, burung dan reptil.
Mangsa utamanya adalah mamaila kecil dan binatang pengerat. Memakan tupai dan Bajing, Kelelawar buah, bunglon, luwak, anak monyet, burung dan reptil.
b. Latar
belakang konservasi burung Elang Jawa
Populasi burung Elang Jawa di alam bebas diperkirakan tinggal 600 ekor.
Badan Konservasi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengategorikannya terancam
punah. Konvensi Perdagangan Internasional untuk Flora dan Fauna yang Terancam
Punah memasukkannya dalam Apendiks 1 yang berarti mengatur perdagangannya
ekstra ketat. Berdasarkan kriteria keterancaman terbaru dari IUCN, Elang Jawa dimasukan dalam kategori
Endangered atau “Genting” (Collar et al., 1994, Shannaz et al., 1995). Melalui Keputusan
Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, Pemerintah RI
mengukuhkan Elang Jawa sebagai wakil satwa langka dirgantara.
Habitat burung Elang Jawa hanya terbatas di Pulau Jawa, terutama di
wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada
peralihan dataran rendah dengan pegunungan.
Bahkan saat
ini, habitat burung ini semakin menyempit akibat minimnya ekosistem hutan
akibat perusakan oleh manusia, dampak pemanasan global,
dan dampak pestisida. Di Jawa Barat, Elang Jawa hanya terdapat di Gunung
Pancar, Gunung Salak, Gunung Gede Pangrango, Papandayan, Patuha dan Gunung
Halimun.
Di Jawa Tengah Elang Jawa terdapat di Gunung Slamet, Gunung Ungaran, Gunung Muria, Gunung Lawu, dan Gunung Merapi,
sedangkan di Jawa Timur terdapat di Merubetiri, Baluran, Alas Purwo, Taman
Nasional Bromo-Tengger-Semeru, dan Wilis.
Di habitatnya, elang Jawa menyebar jarang-jarang. Sehingga meskipun luas
daerah agihannya, total jumlahnya hanya sekitar 137-188 pasang burung, atau
perkiraan jumlah individu elang ini berkisar antara 600-1.000 ekor.[5]
Populasi yang kecil ini menghadapi ancaman besar terhadap kelestariannya, yang
disebabkan oleh kehilangan habitat dan eksploitasi jenis. Pembalakan
liar dan konversi hutan menjadi
lahan pertanian telah menyusutkan tutupan hutan primer di Jawa.[6]
Dalam pada itu, elang ini juga terus diburu orang untuk diperjual belikan di
pasar gelap sebagai satwa peliharaan. Karena kelangkaannya, memelihara burung
ini seolah menjadi kebanggaan tersendiri, dan pada gilirannya menjadikan harga
burung ini melambung tinggi.
Mempertimbangkan kecilnya populasi, wilayah agihannya yang terbatas dan
tekanan tinggi yang dihadapi itu, organisasi konservasi dunia IUCN memasukkan elang Jawa
ke dalam status EN (Endangered, terancam kepunahan). Demikian pula,
Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai hewan yang dilindungi oleh
undang-undang.Burung Elang Jawa dilindungi Undang-Undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, PP 7 dan 8 tahun 1999.
ditetapkan sebagai satwa nasional pada era pemerintahan Soeharto dengan
dikeluarkanya Peraturan Pemerintah No. 41/1993 pada tanggal 10 Januari 1993
karena kemiripanya dengan burung Garuda. Agar populasinya tidak semakin
berkurang, maka diperlukan adanya upaya konservasi.
II.
UPAYA KONSERVASI BURUNG ELANG JAWA
Upaya-upaya
konservasi yang pernah dilakukan oleh pemerintah setempat serta beberapa lembaga
dan komunitas yaitu sebagai berikut:
a. Konservasi Elang Jawa di Gunung Ijen
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur melepasliarkan seekor elang jawa (Spizaetus bartelsi) ke hutan Ijen di Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (15/1/2013). Pelepasliaran itu dilakukan agar elang itu bisa hidup dan berkembang biak di habitatnya kembali.
Menurut Kepala BKSDA Jatim Ludvie Achmad, elang itu merupakan hasil sitaan BKSDA di Sidoarjo pada September 2012. Menurut Chairman Raptor Indonesia Zaini Rachman, keberadaan elang jawa kian langka. "Setahun setidaknya hilang 22 pasang elang jawa,karena perburuan dan berkurangnya habitat hidup," katanya.
Ia berharap dengan pelepasliaran itu perkembangbiakan elang jawa akan terus berlangsung.
b. Pelestarian Satwa Elang Jawa di Subang
indosiar.com, Subang
- Perambahan hutan dan pengalihan fungsi lahan menyebabkan sejumlah spesies
satwa dilindungi terancam punah. Salah satunya burung elang Jawa. Sayangnya
usaha pelestarian untuk mengembalikan satwa ini ke alam bebas masih terkendala
minimnya pendanaan. Keprihatinan akan semakin punahnya burung elang jawa
semakin dirasakan terutama oleh para pecinta alam dan aktivis lingkungan.
Berbagai usaha untuk mengembalikan satwa langka ke habitat asalnya pun terus
dilakukan.
Para aktivis lingkungan di Panarupan Raptor Center yang berada dikawasan
kaki Gunung Tangkuban Perahu Desa Cicadas, Kecamatan Sagala Herang, Kabupaten
Subang, Jawa Barat melepas sejumlah elang ke alam bebas. Pelepasan dilakukan
setelah melalui pemeriksaan kesehatan dan melatih sifat alaminya selama berbulan-bulan.
Burung yang dikarantina ini biasanya hasil penyitaan dari pedagang satwa
ilegal oleh pihak berwajib maupun diserahkan oleh warga atas kesadaran sendiri.
Dadang Ramdan, Koordinator Panaruban Raptor Center menyatakan, tahun lalu
seekor elang jawa telah dilepas ke habitatnya. Saat ini sedikitnya 9 ekor elang
dari jenis brontok dan elang ular masih dikarantina untuk dilatih sifat
alaminya agar bisa kembali ke alam.
Berdasarkan survei terakhir populasi elang jawa dikawasan Panaruban yang
berada di kaki gunung Tangkuban Perahu tinggal 3 pasang. Upaya pelestarian
satwa yang terancam punah ini masih terkendala minimnya dana. (Tim
Liputan/Sup)
c. Konservasi Elang di Halimun Salak
Burung Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) kini
nyaris punah. Pada hal karakteristik burung inilah yang dijadikan acuan
lukisan Burung Garuda Pancasila lambang negara RI. Saat ini, spesies burung ini
telah masuk kategori endangered species Red
List IUCN.
Sebab utama populasi elang terus berkurang adalah kerusakan habitat, baik
akibat bencana alam atau akibat alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan
atau ladang.
Perburuan elang untuk dijadikan koleksi juga kian mengancam kelestarian
elang. Burung elang -termasuk Elang Jawa-adalah hewan monogami yang hanya
berpasangan sekali seumur hidupnya. Karena itu, setiap seekor jantan
atau betina elang mati karena diburu atau ditangkap berarti hilangnya sebuah
kesempatan untuk regenerasi. Karena itu pelestarian Elang Jawa tidak mudah,
sebab burung ini umumnya hanya menghasilkan satu keturunan dari 2-4 telur dalam
sekali siklus reproduksi. Selain itu, Elang Jawa juga memiliki preferensi
terhadap tumbuhan endemik rasamala dan tikus hutan endemik jawa sehingga sulit
untuk beradaptasi di wilayah lain apabila habitat asalnya rusak.
Memberikan perlindungan terhadap hewan ini dari ancaman perburuan adalah
cara paling efektif meski juga tidak mudah.
Upaya konservasi Elang pun kini sudah dilakukan. Namun dibanding dengan
negara lain, konservasi elang di tanah air sudah jauh tertinggal. Dibanding
dengan Thailand dan beberape negara yang pernah belajar dari Indonesia,
misalnya, Indonesia pun sudah tertinggal.
“Hingga tahun 2004, Indonesia masih merupakan negara pertama dan termaju
dalam konservasi elang, khususnya pelepasliaran dan rehabilitasinya. Thailand
dan negara lain belajar pada kita. Kini, kita tertinggal,” kata Gunawan,
pengelola Suaka Elang, seusai memaparkan upaya konservasi elang dalam kunjungan
Jurnalis Lingkungan Hidup ke Chevron Geothermal Salak Ltd, yang difasilitasi
Kementerian Lingkungan Hidup, Selasa (18/9), di Sukabumi, Jawa Barat.
Penyebabnya klasik yakni minimnya perhatian dan dukungan pembiayaan
perlindungan raptor (burung pemakan daging). Untuk penandaan burung, misalnya,
Indonesia masih memakai metode konvensional, yakni dengan memasang semacam
bendera kuning di sayap. Sedangkan di Thailand, pemantauan burung sudah berbasis
satelit. Dalam hal pengamatan burung kita (Indonesia) masih mengandalkan
pengamatan mata.
Memang, Indonesia dalam hal ini Suaka Elang pernah memakain teknologi
berbasis sinyal transmiter. Tapi terhenti sejak 2009, sebab baterainya hanya
bertahan 2 tahun sedangkan pabriknya sudah tutup. Dengan hanya mengandalkan
pengamatan mata, hasil pelepas liaran elang jadi sangat terbatas dan kurang
akurat. Pengadaan alat pemantauan burung berbasis satelit mahal. Harga satu
transmiter yang dipasang pada burung mencapai 4.000 dollar AS (sekitar 40
juta). Ini belum mencakup alat penerima sinyal.
Untuk mengatasi kendala akibat terbatasnya anggaran pemerintah, pihak
Taman Nasional Gunung Halimun Salak meminta Chevron Geothermal Salak (CGS)
membantu pemantauan satwa melalui pemasangan camera trap.
Manajer Policy, Government, and Public Affair CGS Ida Bagus Wibatsya
menyatakan, pihaknya sedang menyiapkan tiga camera trap di sekitar lokasi
operasi CGS. Langkah ini didasarkan pada rekomendasi pakar fauna liar dan LSM
konservasi. “Di lokasi kami juga sering dijumpai macan tutul jawa melintas atau
beristirahat di pipa,” tuturnya.
Suaka Elang adalah jaringan kerja sama terdiri atas Balai TNGHS, Balai
Besar Taman Nasional Gede Pangrango (TNGGP), Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga
(PPS Cikananga), International Animal Rescue Indonesia (IAR), Raptor
Conservation Society (RCS), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat
Penelitian Pengembangan Kehutanan & Konservasi Alam, PT. Chevron Geothermal
Salak, Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI-Green Network), Raptor
Indonesia (RAIN), Mata ELANG dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA) Jawa Barat. (SUAR)
d. Taman Nasiona, Meru Betiri jadi Habitat Elang Jawa
Jember, Jawa Timur:
Kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) menjadi salah satu habitat elang jawa
(Spizaetus
bartelsii atau Nisaetus
bartelsii), satwa langka dan dilindungi yang
telah ditetapkan sebagai Burung Nasional pada 1993.
"Memang benar di
beberapa lokasi TNMB terdapat elang jawa, namun kami belum mendapatkan data
tentang jumlah populasi satwa langka itu," kata Koordinator Pengendali
Ekosistem Hutan TNMB, Nur Rohma, Minggu, di Jember.
Data yang tercatat di
TNMB menyebutkan jumlah jenis aves atau burung yang ada di dalam kawasan hutan
konservasi tersebut sebanyak 193 jenis dan salah satu di antaranya adalah elang
jawa. "Petugas sering menjumpai elang
hitam dan elang laut di kawasan Meru Betiri, namun beberapa kali petugas sempat
melihat keberadaan elang jawa terbang melintas di sana," katanya
menjelaskan.
Ciri sangat khas dari
elang berbentang sayap sekitar 150 sentimeter dan panjang badan 70 sentimeter
itu adalah dua bulu jambul di bagian belakang kepalanya. Dengan bulu dominan
coklat gelap di sekujur tubuh dewasanya, dia juga sering disebut sebagai
ilham bagi kelahiran lambang negara, Garuda Pancasila. Selain elang jawa, kata dia, hutan TNMB seluas 58.000
hektare juga dihuni sebanyak 25 jenis mamalia, enam jenis reptil, dan 10 jenis
insekta.
Saat ditanya tentang
keberadaan harimau jawa (Panthera tigris sondaica), Nur Rohma mengakui satwa langka tersebut diperkirakan
masih ada, dengan bukti sejumlah cakaran dan kotoran yang ditemukan beberapa
tahun lalu. Sebelumnya Ketua ProFauna
Indonesia, Rosek Nursahid, di Malang, mengatakan populasi elang jawa di Taman
Hutan Raya R Soerjo menurun drastis yang dilaporkan hanya tinggal dua
saja. "Populasi elang jawa menurun akibat habitat hutan rusak
karena penggunaan pestisida secara berlebihan. Hewan-hewan mangsanya mengandung
pestisida itu," tuturnya. ProFauna memprediksi, total populasi elang jawa
di alam Indonesia tidak lebih dari 400 saja karena perburuan dan perdagangan
satwa langka itu.
ProFauna mencatat,
selain di Tahura R Soerjo ada beberapa tempat lain di Jawa Timur yang juga
menjadi habitat elang jawa, antara lain Pulau Sempu, Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Alas Purwa,
Lebakharjo, Pegunungan Hyang dan Kawah Ijen. (sumber:antaranews.com)
III.
UPAYA YANG HARUS KITA LAKUKAN UNTUK TETAP MENJAGA
KELESTARIAN HABITAT BURUNG ELANG JAWA
Sebagai
penduduk yang awam tentunya kita juga harus tetap ikut menjaga kelestarian
habitat burung Elang Jawa. Upaya tersebut antara lain:
1.
Mendukung upaya konservasi yang dilakukan oleh
pemerintah, lembaga-lembaga serta komunitas pecinta fauna.
2.
Tidak memburu secara liar burung Elang Jawa
3.
Tidak melakukan
kerusakan alam yang dapat menurunkan habitat burung Elang Jawa
4.
Ikut memantau kegiatan konservasi dengan mengunjungi
tempat-tempat konservasi burung Elang Jawa
5.
Tidak ikut memperdagangkan burung Elang Jawa.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Konservasi adalah perlindungan dan pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin keberlanjutan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya. Kawasan observasi salah satunya adalah habitat penting/ruang
hidup bagi satu atau beberapa spesies (flora dan fauna) khusus: endemik (hanya
terdapat di suatu tempat di seluruh muka bumi), langka, atau terancam punah
(seperti harimau, orangutan, badak, gajah, beberapa jenis burung seperti elang
garuda/elang jawa).
Populasi burung Elang Jawa di alam bebas diperkirakan tinggal 600 ekor.
Badan Konservasi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengategorikannya terancam
punah. Habitat burung Elang Jawa hanya terbatas di Pulau Jawa, terutama di
wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada
peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Melalui Keputusan Presiden Nomor 4
Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, Pemerintah RI mengukuhkan Elang
Jawa sebagai wakil satwa langka dirgantara.
Upaya-upaya konservasi yang pernah dilakukan oleh pemerintah setempat serta beberapa komunitas yaitu Konservasi Elang Jawa di Gunung Ijen, Pelestarian Satwa Elang Jawa di Subang, Konservasi Elang di Halimun Salak, Konservasi Elang di Jember.
B. SARAN
Sebagai penduduk yang awam tentunya kita juga harus tetap ikut menjaga
kelestarian habitat burung Elang Jawa. Upaya tersebut antara lain: Mendukung
upaya konservasi yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga-lembaga serta
komunitas pecinta fauna, tidak memburu secara liar burung Elang Jawa, tidak
melakukan kerusakan alam yang dapat menurunkan habitat burung Elang Jawa, ikut
memantau kegiatan konservasi dengan mengunjungi tempat-tempat konservasi burung
Elang Jawa serta tidak ikut memperdagangkan burung Elang Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Londo, Paulus. 2012. “Konservasi
Elang di Halimun Salak”
salak-504938.html, diakses tanggal
12 Oktober 2013.
Predator, Konservasi. 2011. “Taman
Nasiona, Meru Batiri jadi Habitat Elang Jawa”
jadi-habitat.html,
diakses tanggal 12 Oktober 2013.
Wikipedia. 2013. “Elang Jawa”. http://id.wikipedia.org/wiki/Elang_jawa,
diakses
tanggal 12 Oktober
2013.
Alamendah. 2009. “Elang Jawa
yang Langka”. http://alamendah.org/2009/06
/18/elang-jawa-yang-langka/,
diakses tanggal 12 Oktober
2013.
Nugroho, Arief. 2010. “Pelestarian
Satwa Elang Jawa” http://www.indosiar.com/ragam
/pelestarian-satwa-elang-jawa_67363.html, diakses tanggal 12 Oktober 2013.
Wikipedia. 2013. “Konservasi”. http://id.wikipedia.org/wiki/Konservasi,
diakses
tanggal 11 Oktober
2013.
lengkap sekali infonya dan rapi sekali
BalasHapusberita internasional militer